Rabu, 08 September 2010

Psikologi Pendidikan

Sekolah Kultural

Banyak guru tidak memperhatikan konteks kultural sekolah dan latar belakang kultural dari murid di kelas karena para guru tersebut hidup di tempat yang jauh dari lokasi sekolah tempat mereka mengajar guru dan murid juga mungkin besar dalam kultur yang berbeda, guru harus memahami lingkungan tempat sekolah berada jika guru tersebut tinggalnya jauh dari sekolahnya, guru bias berbelanja di toko disekitar sekolah mengenal tokoh masyarakat yang ada di sekitar sekolah dan membaca koran setempat, sehingga guru dapat lebih menjadi mengerti kultural kehidupan murid mereka. Pemberian pelajaran bermuatan lokal di sekolah bisa diberikan oleh sang guru untuk memberi contoh berdasarkan kehidupan murid mereka.

Gerakan Kultural Melawan Terorisme

Negara-negara Barat dan sekutu-sekutunya di wilayah Irak dan Afganistan pada awal tahun 2007 semakin memfokuskan perhatian pada rekonstruksi dan persoalan politik yang lebih luas untuk melawan terorisme dan ekstrimisme. Rekonstruksi tersebut lebih ditekankan melalui reformasi pendidikan (Kompas, 20/02/07). Upaya melawan terorisme dan ekstremisme tidak bisa dilakukan hanya dengan mengandalkan kekuatan militer. Sejauh ini kekuatan militer yang digunakan di Afganistan dan Irak tidak dapat menghilangkan terorisme dan ekstremisme. Semakin besar kekuatan militer digunakan, semakin besar pula reaksi terorisme. Irak adalah salah satu contoh dari kegagalan pendekatan tersebut. Kekerasan di Irak semakin meningkat seiring dengan penyisiran dan penangkapan para ekstrimis.

Tak Berhasil Meredam

Militerisme hanya mampu memusnahkan, namun tidak berhasil meredam pesona ajaran terorisme. Teror yang berkembang di Irak bukanlah ekspresi dari keputusasaan, melainkan panggilan perjuangan suci. Bagi mereka mengorbankan jiwa demi tegaknya agama Allah adalah sesuatu yang sangat mulia, yang mereka sebut jihad. Karena itu penangkapan tidak akan bisa menahan laju penyebaran panggilan jihad semacam ini. Masih tingginya angka bom bunuh diri dan penculikan yang disertai pembunuhan di Irak menunjukkan begitu banyaknya jumlah teroris di sana. Padahal teroris yang tertangkap dan terbunuh sudah mencapai jumlah yang teramat banyak.
Hingga kini kekerasan di Irak terus berlanjut. Tidak ada tanda bahwa konflik antarkelompok itu akan berakhir. Hampir setiap hari terjadi ledakan bom, sebagiannya merupakan bom bunuh diri. Bom tersebut merupakan ekspresi dari ketidakpuasan kelompok umat Islam tertentu terhadap yang lainnya, sehingga aksi teror bom sebetulnya ditujukan kepada kelompok masyarakat yang tengah berkuasa yang dianggap bersekutu dengan pasukan internasional (Amerika dan Sekutunya).
Fenomena itu merupakan radikalisme yang disebabkan oleh kegagalan Amerika dalam menyelesaikan krisis politik pasca tergulingnya Presiden Irak, Saddam Hussein, di tahun 2003 lalu. Pada dasarnya penyerangan dan penggulingan Saddam Hussein sendiri merupakan kebijakan yang tidak tepat. Pergantian kepemimpinan di Irak secara paksa justru menimbulkan krisis politik yang memprihatinkan. Alih-alih terbangunnya demokrasi sebagaimana diharapkan Bush, justru kekacauan dan kekerasan yang terjadi. Selain itu, perlindungan Amerika atas kekejaman Israel terhadap masyarakat Lebanon—dalam perang selama kurang lebih 1 bulan—dan Palestina juga merangsang kemunculan radikalisme, sebagaimana terlihat dalam militansi rakyat Palestina dalam melawan tentara Israel, yang diantaranya menggunakan bom bunuh diri.

Pendekatan Kultural

Namun terlepas dari faktor tersebut, radikalisme itu sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh faktor pola keberagamaan. Karena itu, pendekatan kultural adalah cara yang tepat dalam menangani terorisme dan ekstrimisme. Pembentukan kepribadian dan keberagamaan seseorang sangat ditentukan dari apa yang mereka dengar dan alami sehari-hari. Tidak salah jika dikatakan bahwa sekolah-sekolah agama—dan pengajian-pengajian informal di masyarakat—memiliki kontribusi signifikan dalam menetaskan dan menyuburkan pandangan terorisme dan ekstrimisme.
Menurut pengakuan salah seorang mantan aktivis Jamaah Islamiyah yang pernah mengalami peperangan di Afganistan melawan penjajahan Uni Soviet, sebelum diterjunkan dalam medan perang mereka harus menjalani pendidikan terlebih dahulu selama tiga tahun (Nasir Abas, 2005). Dalam pendidikan itu bukan hanya latihan perang dan pengenalan tentang persenjataan, melainkan juga pendidikan akidah. Dalam Islam, akidah adalah fondasi amal. Segala perbuatan berdasar pada akidah. Jika akidahnya lemah akan tecermin dalam amalnya. Kegigihan atau militansi seorang pejuang agama dibentuk sedemikian rupa dalam pendidikan itu. Jadi, bukan pengalaman perang itu sendiri yang membentuk militansi seseorang.

Bagaimanapun sekolah-sekolah agama masih mendapatkan tempat yang tinggi di masyarakat muslim. Karena itu pandangan keberagamaan yang moderat perlu ditingkatkan di sekolah-sekolah agama. Sungguhpun hasil dari pendidikan baru terlihat setelah beberapa tahun, namun upaya perbaikan melalui pendidikan dan gerakan kultural lainnya adalah cara yang paling tepat dan efektif.
Pandangan keagamaan moderat akan dihasilkan oleh sistem pendidikan moderat. Sistem pendidikan moderat terdiri dari kurikulum moderat dan guru moderat. Oleh sebab itu, melawan terorisme untuk jangka panjang tidak cukup menggunakan pendekatan militer, tetapi harus menggunakan jalur pendidikan: kurikulum pendidikan harus memuat nilai-nilai moderat dan para pengajarnya pun harus berjiwa moderat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar